![]() |
Tanggal 14 November 2012 kemarin
sebenarnya adalah tanggal bersejarah bagi Malang. Sebab 115 tahun
sebelumnya NV Malang Stoomtrammaatschappij (Maskapai Trem Uap Malang)
mulai menjalankan trem uap sebagai alat transportasi massal di Malang.
Rangkaian trem penumpang yang ditarik oleh satu lokomotif uap tersebut
sejak 14 November 1897 dioperasikan pada rute antara Stasiun Trem
Jagalan yang berlokasi di Van Kesetren Weg (sekarang Jalan Halmahera)
dan Stasiun Trem Bululawang yang berlokasi di Kecamatan Bululawang,
Kabupaten Malang.
Rute sepanjang 11 kilometer tersebut
merupakan rute trem pertama yang dibuka untuk umum oleh maskapai
tersebut. Selanjutnya tercatat dalam sejarah bahwa pada tahun 1908,
jaringan rel trem uap Malang telah berhasil menghubungkan Kota Malang
dengan wilayah-wilayah penyangga, yakni Tumpang, Singosari, Dampit,
Gondanglegi dan Kepanjen dengan panjang rute keseluruhan 85 kilometer
(Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997 : 176). Tentu panjang rel yang pernah
dibangun secara keseluruhan melebihi 85 kilometer karena Maskapai Trem
Malang memiliki banyak stasiun dan emplasemen yang masing-masing
setidaknya memiliki dua jalur trem atau dua sepur.
Namun 115 tahun setelah trem uap pertama
kali dioperasikan di Malang, keberadaannya seolah terlupakan. Sejak
trem mulai dihentikan pengoperasiannya di Malang pada tahun 1978,
Stasiun Trem Jagalan di Jl. Halmahera sekarang berubah fungsi menjadi
rumah tinggal, peronnya sudah lenyap dan di depannya berderet kios-kios
buah-buahan. Kantor Maskapai Trem Malang yang berada di Jl. Irian Jaya
juga sudah lenyap dan di atasnya berdiri rumah-rumah. Begitu pula
bangunan-bangunan lain seperti gudang dan bengkel kereta (balai yasa)
yang keberadaannya sudah sulit dilacak dan hanya bisa dilihat
foto-fotonya yang sekarang tersimpan sebagai bagian dari koleksi arsip
digital Leiden University, Belanda. Nasib Stasiun Bululawang juga tidak
jauh berbeda. Bangunan yang dalam foto-foto lama terlihat berukuran
lebih dari 15 meter persegi, sekarang tinggal tersisa kurang lebih 6
meter persegi. Jangan ditanya nasib stasiun-stasiun lainnya! Stasiun
Trem Kendalpayak dan Stasiun Trem Sedayu diruntuhkan lalu di atas
tanahnya didirikan bangunan untuk kegiatan bisnis dan tidak jelas
apakah pemakaian tanah bekas stasiun tersebut sudah seijin PT KAI selaku
pemilik aset atau belum.
![](https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/60769_10151175818338261_1067835905_n.jpg)
Stasiun Bululawang dulu dan sekarang
Hilangnya trem sebagai satu moda angkutan massal merupakan akibat dari mindset pembuat
kebijakan di bidang transportasi yang kurang berpihak pada angkutan
massal berbasis rel. Alih-alih mengembangkan trem uap Malang menjadi
trem listrik atau trem diesel, trem mulai dihilangkan dari Malang sejak
tahun 1978. Puluhan stasiun dan haltenya menjadi terlantar. Relnya ada
yang dibiarkan terpendam dalam tanah atau dicabut.
Pada kenyataannya, wacana pembangunan
jalan raya maupun jalan tol memang mengemuka dewasa ini. Seolah-olah
dengan kebijakan seperti itu, masalah kemacetan yang terjadi di banyak
kota besar dapat dipecahkan. Padahal realita yang terjadi di DKI Jakarta
menunjukkan bahwa betapa pembangunan jalan tol ternyata tidak
menyelesaikan masalah kemacetan. Kebijakan semacam itu justru hanya akan
memicu pembelian kendraan pribadi.
![](https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/542817_10151175819033261_386435197_n.jpg)
Trem uap ketika berhenti di Halte Lowokdoro 1976 (Courtesy Mr. Rob Dickinson)
Saat ini kemacetan lambat laun juga
mulai mendera Kota Malang karena kepemilikan kendaraan pribadi roda dua
maupun roda empat lebih banyak dibandingkan dengan masa ketika trem
masih beroperasi. Pada pagi hari ketika orang-orang berangkat kerja dan
jam pulang kerja pada sore hari atau pada hari libur, kemacetan sangat
terasa di titik-titik tertentu di Kota Malang, misalnya di kawasan
perempatan Blimbing, Embong Brantas dan kawasan Jalan Semeru. Pada sisi
lain, jika melihat fakta sejarah bahwa pembangunan jaringan trem pada
kurun waktu 1897 hingga 1908 yang mendahului kelahiran Kota Malang
(Gemeente Malang) pada 1914, nampaknya kota ini memang dirancang
sebagai kota dengan jaringan angkutan massal berbasis rel. Jadi ketika
trem dihapuskan dan pertambahan kepemilikan kendaraan pribadi dibiarkan
tanpa kendali, timbulnya kemacetan parah sudah dapat diprediksi mulai
sekarang.
Namun satu masalah penting yang juga
patut menjadi perhatian akibat penonaktifan trem di Malang adalah
terlantarnya aset-aset milik PT Kereta Api Indonesia Persero.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1959,
Maskapai Trem Malang merupakan salah satu perusahaan milik Belanda yang
dinasionalisasi dan hingga saat ini aset-asetnya menjadi milik PT Kereta
Api Indonesia Persero. Jika melihat fakta bahwa harga tanah permeter
persegi di sepanjang jalur trem Malang bisa mencapai lebih dari Rp 1,5
juta per meter persegi, sungguh ironis melihat fakta bahwa aset berharga
mahal tersebut lebih banyak yang tidak terurus. Belum lagi nilai
komersial bangunan-bangunan berupa stasiun-stasiun, gudang, maupun rumah
dinas beragam ukuran yang masih berdiri tegak.
![](https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash4/291703_10151175824623261_141804144_n.jpg)
Nasib Stasiun Kendalpayak
Berapa besar keuntungan yang bisa
dihasilkan oleh aset eks trem Malang jika PT KAI bisa mengelola dan
mengatur pemanfaatan aset-asetnya dengan baik? Barangkali ketika
manajemen PT KAI berpikir untuk mendapat keuntungan yang besar, sudah
saatnya BUMN tersebut berpikir dan bertindak lebih kreatif, aktif, tegas
dan berani dalam mengelola aset-aset trem di Malang Raya. Jangan sampai
pemanfaatan aset-aset tersebut mendatangkan keuntungan yang dinikmati
oleh pihak-pihak lain namun sama sekali tidak mendatangkan keuntungan
bagi PT KAI.
Oleh : Endiarto Wijaya
Sumber : Edan Sepur
Terima kasih atas apresiasi terhadap tulisan saya. Salam :)
BalasHapusTerima kasih atas apresiasi terhadap tulisan saya. Salam :)
BalasHapus